KETEGARAN SAMPAI DI TITIK AKHIR
Ini saat yang sulit bagiku. Semua terasa berat membebani punggungku. Pemutusan kerja dengan alasan yang muskil, anak sedang dirawat di rumah sakit dan istri yang cerewet. Semua menjadi satu beban besar yang kupanggul diatas pundak yang rapuh. Aku tak ingin menangis, bagiku itu menyalahi etika sebagai seorang lelaki. Biarlah kehidupan menyalahi diriku dan menjadikan ku tersangka utama. Tapi, aku takkan mau menyalahi aturan kehidupan. Aku dilahirkan sebagai seorang lelaki dengan kodratnya yang harus selalu tegar. Tegar menghadapi apapun, cobaan berat, dan ujian. Tegar bagai badan yang berperisai baja, tegar walaupun rapuh, tegar walaupun mendengar cacian.
Aku duduk di sebuah bangku, di taman kota . Di sini badanku terasa segar. Bau dedaunan yang sejuk, gemericik air dari kolam air mancur buatan, kicau burung gereja yang silih berganti menjadikan taman ini tempat refleksi yang gratis untukku. Sejenak aku menatap lurus menyeberang jalan, menatap dua sosok suami istri yang tampak berjualan rujak. Pasangan abadi, serasi dan harmonis. Putih uban yang tampak pada keduanya menyimbolkan hal itu, menunjukkan identitas yang tak lagi muda. Kulihat sang istri yang selalu tersenyum. Agaknya gelak candalah yang sedang terjadi disana. Begitu ringan tawa itu, tawa yang tak menampakkan kegelisahan rumah tangga. Tak tampak kegelisahan belum membayar air, listrik dan uang rumah.sungguh tak tampak. Apa resep abadi keduanya? Mengapa dihatiku ini terbersit rasa iri kepada keduanya?.
Aku segera saja menarik tatapanku dari keduanya. Aku menerawang memikirkan kejadian tadi pagi di rumah.
“ Papa tuh nggak tahu, aku malu pa, malu,tetangga pada membicarakan kita pa ! bilangnya harta kita melimpah, emas, mobil, dan rumah megah tapi tak bisa membayar uang listrik, pa!” jawab istriku ketika aku menegurnya karena telat membangunkanku untuk kekantor.
“ Aku belum punya uang ma, berlakulah dewasa. Aku hanya memintamu membangunkanku lebih awal. Tidak lebih! Aku ada rapat penting, tak bisakah kau mengerti?” jawabku sambil mengambil handuk sambil beranjak mandi.
“ Kalau kamu tidak ingin malu, maka jual perhiasan – perhiasanmu. Tutupi semua hutang dan bukan malah terus menghamburkan uang!” jawabku lagi.
“bukan aku yang harus menutupi semua hutang. Tapi kamu, kamu ! kamu pa, sebagai kepala rumah tangga. Kamu yang harus pontang panting kerja, pulang malam, bahkan kalau perlu tak usah pulang kerumah. Aku menikah denganmu bukan ingin susah, tapi untuk senang! Huh, si Bram pacarku sekarang telah jadi pebisnis kaya.” cibiran istriku ketika aku mulai mengguyur badanku dengan air dingin. Ini benar – benar membuatku tidak
merasakan air dingin yang menusuk tulang, ini membuat darahku menggelegak. Sungguh, aku ingat dulu ia yang mengejarku dan meninggalkan Bram, pacarnya. Karena dulu Bram baru merintis usaha dan masih goyah, sedangkan diriku telah mapan. Ku percepat mandiku dan berpakaian segera. Kuhampiri ia yang sedang asyik menonton tv, setelah sebelumnya kulewati meja makan yang kosong. Kumatikan tv itu.
“ Sebaiknya kamu segera memasak ma, sebab kalau pulang nanti aku melihat meja itu kosong. Niscaya kamu tinggal nama!!”kecamku pada Yulia, istriku yang cantik.
“ Kamu akan lebih menyesal kalau pulang nanti idak membawa uang, pa!”jawabnya dengan lengkingan yang khas dan nada yang ketus serta mata yang menyala – nyala. Ia tidak pernah patuh kepadaku sebagai suaminya, kelembutan mulai memudar. Wanita cantik yang cerewetlah yang tersisa darinya.aku menyesal sekarang, menyesal yang tak lagi berguna. Kalau saja waktu yang kupunya dapat terulang.
Aku bangkit dari duduk nyamanku. Aku bagai terbangun dari mimpi burukku. Dan sekarang menghadapi hidup yang lebih buruk lagi. Mengingat – ingat hal mitu membuatku tambah sesak. Kususuri jalan menuju mobil afford terbaru hasil jerih payahku yang kata Yulia juga masih sangat payah.
Sampai di rumah aku melihat yulia bersama Bram. Bram mantan kekasihnya yang ia tinggalkan demi mengejar aku. Aku tak terlalu kaget demi melihat keduanya melakukan adegan mesra di depan mataku. Rasanya tadi pagi Yulia telah memproklamirkan hubungnnya dengan Bram. Itu membuat ketegaranku sebagai seorang lelaki tak luruh seketika. Itu mencharger baterai ketegaranku.
“ Mas, apa kabar?gimana pekerjaanmu? Tanya Bram yang bersandiwara dihadapanku dengan nada ramah.
“ Baik, sebaik suasana hatiku saat ini. “jawabku dingin.
Aku berjalan terus menuju kamar kamar tempat peraduanku dan Yulia. Bram dan Yulia menjadi aktor dan aktris tadi. Masih kelas yang murahan, padahal aku melihat jelas bahwa ada cap lipstik Yulia di leher Bram. Aku sungguh muak, tapi tetap aku tahan. Yulia seorang wanita yang sangat kucintai dan kukira juga sangat mencintaiku kenyataanya hanya sangat mencintai hartaku. Beban beratku bertambah. Ketika merebahkan diri di peraduan, aku tak dapat memejamkan mata. Kucoba dan kucoba berulang akan tetapi hasilnya selalu nihil. Gigi – gigiku gemerutuk geram. Aku bangun dari peraduanku, mencuci muka dan berjalan menuju dapur tempat sekarang Yulia berada.Bram telah pamit pulang.
“ Kau tidak sopan pada tamu, pa” kata Yanti ketika dilihatnya aku di dapur sambil memotong buah. Aku diam mendengar itu, diam dalam ketegaranku.
“ Aku haus, ambilkan aku minum!” jawabku singkat ketika kulihat ia yang berada dekat dengan wadah air.
“ Kau menyuruhku? Aku bukan babumu pa! ambil sendiri minumanmu. Toh , yang haus dirimu. Dan kau juga bukan tamuku!” jawabnya ketus sekali.
Aku menggenggam erat pisau . aku geram, pisau ini mewakili kegeramanku pada apel.
“ Diandra sudah kau jenguk?” tanyaku ketika kuliahat ia mulai memotong cake, kudapan hari ini.
“ahh, perkra itu.Belum, aku tadi diajak shooping sama Bram. Bram itu baik banget pa, aku dibeliin kalung berlian. Huh, kalau sekarang aku hang out sama kamu, kuningan pun belum tentu kudapat.” Jawaban yang tak kuharapkan untuk saat ini. Poin tegarku masih ada. Walaupun geram, geram sekali.
Janji hidup dalam suka duka dan keabadian tak pernah akan tercapai dalam kehidupan rumah tanggaku. Bidukku goyah. Aku masih tegar, dan masih berjalan dikodratku sebagai lelaki. Masih diam, lembut dan juga tegar dalam adatku yang seorang Jawa. Aku masih tegar dalam nada bicaraku “ bersiap segera ma, aku ingin menjenguk Diandra!.” Jawabku singkat.” Aku tidak sedang ingin dibantah!” selaku dengan nada yang diberi penekanan tinggi ketika jelas raut wajahnya menggambarkan wajah ingin membantah.
Minumku yang kuambil sendiri yang kutuang penuh tak habis kutenggak. Ia diam tak berani membantah setelah menatapku.
“ Kau sudah gila, pa!” gumamnya jelas.
Dua puluh menit waktu yang dihabiskan untuk bersiap. Aku akan menjenguk anak tersayangku. Belahan jiwaku. Tempatku bersandar, landasanku untuk tegar. Jalanan macet parah, tiga jam kuhabiskan dijalan menuju rumah sakit tempat Diandra dirawat. Setelah mendapat parkir yang teduh, aku keluar mobil dan berjalan gelisah, sesekali kulirik Yulia, ibu dari anak lelakiku. Perempuan yang melahirkan putraku. Santai, santai sekali. Tak tampak raut cemas terhadap putraku di wajahnya. Ia bagai sesosok wanita yang yang tak berperasaan. Diandra berbaring sakit, tetapi ia masih tetap santai. Gila, bias gila aku dibuatnya.
Meja resepsionis kuhampiri karena ketika kekamar Diandra ia tidak ada di kamarnya. Jantungku berdetak makin keras dan keras dan makin keras.
“ Maaf, ruang 4.c melati pasiennya sedang dimana ya mbak?” tanyaku kepada perawat yang sedang bertugas disana.
“ Diandra? Bapak family nya ya?” sahut perawat tersebut.
“ Saya adalah ayahnya!” jawabku tersendat.
Aku tambah deg – deggan menunggu jawaban selanjutnya yang keluar dari mulut perawat tersebut. Perawatku tidak enak.
“ Mari pak, ikut saya!” jawabnya sambil segera berjalan di depan. Aku mengikuti langkah perawat itu. Hatiku berdetak seirama langkah kakiku. Tak kuperhatikan lagi wanita tak berperasaan , istriku. Perawat itu menuju ruang dokter yang menangani penyakit Diandra. Dokter Pratiwi, seorang wanita cerdas yang berdedikasi pada bidang kesehatan.
Yulia kembli mencecoki ketegaranku, aku masih bertahan dalam ketegaranku menghadapinya.
“ Bau obat pa, aku tidak tahan! Kau saja yang masuk. Diandra anakmu. Aku sudah cukup sengsara pa!.” jawabnya santai sekali. Tampak pada kalimatnya ia mengucapkan bagai tanpa beban sedikitpun. Aku mulai malas mengecamnya. Kakiku mulai lemas dan tenggorokanku kering.
Aku masuk ke dalam ruangan dokter Pratiwi.bau obat – obatan sgera merasuk kedalam hidungku. Aku menikmati hal itu, membayangkan Diandraku akan sembuh dengan obat yang aromanya sedang kuhirup ini.
Dokter itu mentapku sejenak, aku menyalaminya.
“ Saya orang tua Diandra,dok!” kataku .
Perawat yang mengantarku keruang dokter tak tampak lagi. Dokter Pratiwi tampak tak langsung merespon perkataanku. Ia membolak – balikkan kertas yang tergeletak di atas mejanya.
“ Diandra ,” dokter Pratiwi tersendat.
“ ia adalah seorang anak yang kuat. Ia bertahan melawan sakitnya. Ia seorang anak yang tegar.” Lanjut dokter Pratiwi ketika kutatap matanya yang bening dan menenangkan.
“ ia bertahan dalam kondisi yang parah dalam waktu yang cukup lama.sungguh ia anak yang kuat.” Ucapan yang berulang – ulang dari dokter membuatku bertambah gelisah, aku semakin dan semakin tak tenang. Ketegaranku bagai parameter yang naik turun.
“ Tolong dok, katakan dimana Diandra?” tanyaku tak sabar.
“ Ia anak yang kuat. Tapi. . . gagal jantung mengakhiri perjuangannya. Ia pergi dua jam yang lalu, saya dan segenap rekan sudah membantu semaksimal mungkin pak.” Pernyataan dokter yang terakhir membuat sendiku mulai mati, aku linglung dengan keadaan sekelilingku. Aku masih tegar. Tidak, aku mencoba tegar. Aku menyeret langkah kakiku yang mulai berat untuk mencari Diandra di ruang mayat. Ketempat wajah suci yang terlihat amat pucat. Aku tak berdaya, aku menutup kain putih yang tadi kusibakkan. Aku luluh, ku kumpulkan sisa – sisa ketegaranku. Aku tak mau menangis. Tak ingin menyalahi kodratku sebagai lelaki. Aku kesakitan. Hatiku letih dan terluka parah. Terkena panah beracun dan mematikan. Pedih rasanya melihat wajah tanpa dosa semata wayangku. Mtaku perih, tak sadar aku menyalahi kodratku. Kategaranku memudar. Di sela mataku air mata menganak sungai.
Aku keluar dari ruangan Diandra, langkah ku berat lagi tertatih, bebanku sangat berat. Sangat – sangat berat. Aku mengajak Yulia dalam diamku. Aku mengajaknya pulang untuk mengurus pemakaman Diandra. Luruh, pudar, dan rontok tak bersisa ketika dalam perjalanan mobil truk muatan,ku tabrak dengan mobil affordku.
Nol persen ketika sekilas kedengar jerit panjang kesakitan Yulia dan ketika semua pandanganku gelap gulita. Ketegaranku sampai di titik akhir.
0 komentar:
Posting Komentar